love ~ love ~ love ~love

love ~ love ~ love ~love

Rabu, 14 April 2010

Konsep Dasar Asma

1. Pengertian

Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 2000).

Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berupa serangan asma (Ngastiah, 2005).

Asma adalah mengi berulang dan atau batuk persisten dalam keadaan di mana asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah di singkirkan (Mansjoer, 2002).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa asma merupakan suatu penyakit obstruksi pada jalan nafas yang riversibel yang ditandai dengan bronchospasme, inflamasi dan peningkatan sekresi jalan napas terhadap berbagai stimulant yang mengakibatkan aliran udara terbatas


2. Patofisiologi

Faktor penyebab seperti virus, bakteri, jamur, parasit, allergen, iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis akan menimbulkan hiperreaktivitas broncus dalam saluran pernafasan sehingga merangsang sel plasma menghasilkan imunoglubulin E (IgE). IgE selanjutnya akan menempel pada reseptor dinding sel mast yang disebut sel mast tersensitisasi. Sel mast tersensitisasi akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan sejumlah mediator seperti histamine dan bradikinin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga timbul edema mukosa, peningkatan produksi mucus dan kontriksi otot-otot polos saluran nafas yang besar atau kecil yang menimbulkan bronchospasme. Peningkatan produksi mucus yang disebabkan oleh bronchospasme akan mengakibatkan sesak, batuk, mengi/wheezing, adanya sesak akan mengakibatkan terjadinya anoreksi. Timbulnya edema mukosa, peningkatan produksi mucus dan kontraksi otot polos bronkiolus akan menyebabkan proliferasi sehingga terjadi sumbatan dan konsulidasi pada jalan nafas mengakibatkan proses pertukaran O2 dan CO2 terhambat akibatnya terjadi gangguan ventilasi. Peningkatan CO2 dalam alveolus (hiperventilasi) akan terjadi alkalosis respiratorik dan penurunan CO2 dalam kapiler (hipoventilasi) sehingga paru-paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas yaitu membuang karbon dioksida, yang akan menyebabkan konsentrasi O2 dalam alveolus menurun dan terjadi gangguan difusi, mengakibatkan oksigenasi ke jaringan tidak memadai sehingga terjadi gangguan perfusi yang menyebabkan terjadinya hipoksemia, hipoksia, serta terjadi kelelahan dan dada terasa tertekan/sesak. Hipoksemia dan hipoksia akan menimbulkan berbagai manifestasi klinik seperti sianosis, takipnea, gelisah, nafas cuping hidung dan retraksi dada. (Mangunnegoro, 2004).


3. Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi

a. Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik)

Menurut Dahlan (2009) asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE.

IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.

Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.

Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.

Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas.

Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus.

Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif.

Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.

b. Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik)

Menurut Dahlan (2009) asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.

Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messengner kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhuspasme sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (Baratawidjaja, 1990).

c. Asma Bronkiale Campuran (Mixed)

Menurut Dahlan (2009) pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik.

4. Faktor Pencetus Serangan Asthma Bronkiale

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asthma bronkiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah :

a) Alergen

Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan serangan asthma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya. (Sundaru, 2001).

b) Infeksi saluran nafas

Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asthma bronkiale. Diperkirakan dua pertiga penderita asthma dewasa serangan asthmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas (Sundaru, 2001).

c) Tekanan jiwa

Tekanan jiwa bukan sebagai penyebab asthma tetapi sebagai pencetus asthma, karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asthma bronkiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asthma terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak-anak (Yunus, 1994).

Menurut Dahlan (2009) dalam kehidupan sehari-hari , emosi negatif seperti : amarah, cemas dan depresi terkadang, tanpa disadari timbul sedikit demi sedikit dan stimulus emosi negatif ini diterima oleh bagian otak kita, yang disebut sistem Limbik. Sistem Limbik yang terdiri dari Amigdala, Thalamus dan Hipothalamus ini berperanan sangat penting dan berhubungan langsung dengan sistem otonom maupun bagian otak penting lainnya. Karena hubungan langsung sistem Limbik dengan sistem otonom, jadinya bila ada stimulus emosi negatif yang langsung masuk dan diterima oleh sistem Limbik dapat menyebabkan berbagai gangguan seperti : gangguan jantung, system pernafasan maupun gangguan saluran cerna. Stimulus emosi dari luar ini dapat langsung potong jalur masuk ke sistem Limbik tanpa dikontrol oleh bagian otak yang mengatur fungsi intelektual yang mampu melihat stimulus tadi secara lebih obyektif dan rasional. Hal ini menjelaskan kenapa seseorang yang sedang mengalami emosi kadang perilakunya tidak rasional.

Menurut Setiawati (2009) stres dan perasaan cemas dapat memicu sel di saluran pernafasan untuk melepaskan zat histamin dan leukotrines. Eosinofil, tipe lain dari sel yang ditemukan pada saluran udara penderita asma, melepaskan sejumlah zat-zat termasuk leukotrines dan zat lainnya, menyebabkan timbulnya reaksi utama : kontriksi otot-otot polos saluran nafas yang besar atau kecil yang menimbulkan bronchospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah sempitnya saluran nafas lebih lanjut, peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukosa. Bila terjadi bronchospasme maka lumen bronchus menjadi menyempit, O2 berkurang masuk dan CO2 tertahan sehingga tubuh kekurangan O2 . reaksi tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 dengan menambah frekuensi pernafasan sehingga menimbulkan gejala sesak nafas, expirasi memanjang, batuk wheezing dan produksi sputum banyak. Bila keadaan spasme tidak di tanggulangi dan berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi yang akan dijumpai : retraksi otot sternal, penggunaan otot-otot abdomen, pernafasan cuping hidung, hypoksia berat dan jika hal ini berlanjut dapat mengakibatkan asidosis yang akan mengancam kematian.

d) Olah raga / kegiatan jasmani yang berat

Sebagian penderita asthma bronkiale akan mendapatkan serangan asthma bila melakukan olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asthma. Serangan asthma karena kegiatan jasmani (Exercise induced asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olah raga.(Sundaru, 2001)

e) Obat-obatan

Beberapa pasien asthma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.(Sundaru,2001)

f) Polusi udara

Pasien asthma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam. (Sundaru, 2001)

g) Lingkungan kerja

Diperkirakan 2 – 15% pasien asthma bronkiale pencetusnya adalah lingkungann kerja (Sundaru, 2001).


5. Gejala klinis

Menurut Sundaru (2001) frekuensi dan derajat serangan asma berubah-ubah. Beberapa penderita asma bebas dari gejala asma untuk waktu lama, dengan sekali-sekali terengah-engah saat menarik napas. Batuk dan napas yang berbunyi dalam jangka waktu yang panjang dan serangan hebat dapat terjadi setelah infeksi yang disebabkan oleh virus, olahraga, terkena penyebab alergi atau iritasi. Menangis atau tertawa keras juga dapat menimbulkan gejala.

Serangan asma dapat terjadi secara mendadak ditandai dengan napas yang berbunyi, batuk, dan napas yang pendek. Bunyi menjadi sangat jelas ketika mengeluarkan napas. Di lain waktu, suatu serangan asma bisa datang secara perlahan dengan tingkat gejala yang memburuk. Pada kasus lainnya, penderita asma biasanya pertama kali menyadari bahwa napasnya pendek, batuk, atau dada terasa sesak. Serangan dapat berlangsung lebih dari beberapa menit, atau berlanjut menjadi berjam-jam atau berhari-hari.

Gatal pada dada atau leher mungkin merupakan gejala awal, terutama pada anak-anak. Batuk di malam hari atau ketika melakukan olahraga bisa merupakan suatu gejala. Ketika serangan asma berlangsung, napas yang pendek menjadi berat, menimbulkan suatu perasaan cemas. Dengan sendirinya, penderita akan duduk tegak dan menarik napas, menggunakan otot leher dan dada untuk membantu bernapas, tetapi tetap sulit untuk mendapatkan udara. Berkeringat dan perasaan cemas merupakan hal yang biasa dalam usaha bernapas.

Pada serangan yang sangat berat, penderita hanya sanggup mengucapkan sedikit kata-kata tanpa berhenti untuk bernapas. Terkadang, bunyi saat bernapas berkurang karena banyaknya udara yang keluar-masuk paru-paru secara berat. Kekacauan, kelesuan, dan kulit yang membiru (cyanosis), merupakan tanda bahwa orang tersebut kekurangan oksigen, dan dibutuhkan pengobatan yang cepat. Biasanya, orang yang mendapat pengobatan lengkap, akan terbebas dari serangan asma yang berat. Beberapa kantung udara pada paru-paru (alveoli) bisa pecah, tetapi hal ini jarang terjadi, udara akan berkumpul dalam pleural space (ruangan di antara lapisan membran yang melindungi paru-paru) atau udara berkumpul di sekitar organ-organ yang terdapat dalam dada. Komplikasi ini akan memperpendek napas yang telah pendek.

6. Klasifikasi Asma (GINA,2006)

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 antagonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).

a. Asma saat tanpa serangan

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat.

Tabel 1.

DERAJAT ASMA BERDASARKAN GAMBARAN KLINIS

SECARA UMUM PADA ORANG DEWASA

Derajat asma

Gejala

Gejala malam

Faal paru

Intermitten

Bulanan


APE≥80%


- Gejala<1x/minggu.

- Tanpa gejala diluar serangan.

- Serangan singkat.

≤ 2 kali sebulan

- VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80%

nilai terbaik.

- Variabiliti APE<20%.

Persisten ringan

Mingguan


APE>80%


- Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari.

- Serangan dapat mengganggu aktifitas dan tidur

>2 kali sebulan

- VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE 20-30%.

Persisten sedang

Harian


APE 60-80%


- Gejala setiap hari.

- Serangan mengganggu aktifiti dan tidur.

- Membutuhkan bronkodilator setiap hari.

>2 kali sebulan

- VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE>30%.

Persisten berat

Kontinyu


APE 60≤%


- Gejala terus menerus

- Sering kambuh

- Aktifiti fisik terbatas

Sering

- VEP1≤60% nilai prediksi

APE≤60% nilai terbaik

- Variabiliti APE>30%

Sumber : GINA, 2006

b. Asma saat serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.

TABEL 2

DERAJAT ASMA SAAT SERANGAN

Parameter klinis

Ringan

Sedang

Berat

(1)

(2)

(3)

(4)

Sesak (breathless)

Berjalan

Berbicara

Istirahat

Posisi

Bisa berbaring

Lebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

Bicara

Kalimat

Penggal kalimat

Kata-kata

Kesadaran

Mungkin iritabel

Biasanya iritabel

Iritabel

Sianosis

Tidak ada

Mungkin ada

Ada

Wheezing

Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi

Nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi

Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop

Penggunaan otot bantu respiratorik

Biasanya tidak

Biasanya ya

Ya

Retraksi

Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi suprasternal

Dalam, ditambah napas cuping hidung

Frekuensi napas

22-32 kali/menit

32-38 kali/menit

> 38 kali menit

Frekuensi nadi

60-90 Kali/menit

100-120 kali/menit

> 120 kali/menit

Sumber : GINA, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar