love ~ love ~ love ~love

love ~ love ~ love ~love

Kamis, 15 April 2010

HOSPITALISASI DAN KECEMASAN PADA ANAK

1. Hospitalisasi

Hospitalisasi selama kanak-kanak adalah pengalaman yang memiliki efek yang lama kira-kira satu dari tiga anak pernah mengalami hospitalisasi (Fortinas and Warrel, 1995). Hospitalisasi menjadi stresor terbesar bagi anak dan keluarganya yang menimbulkan ketidaknyamanan, jika koping yang biasa digunakan tidak mampu mengatasi atau mengedalikan akan berkembang menjadi krisis. Tetapi besarnya efek tergantung pada masing-masing anak dalam mempersepsikannya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi koping anak :

a. Umur dan perkembangan kognitifnya

b. Pengalaman sakit terdahulu

c. Kedekatan anak pada orang tua

d. Lamanya sakit dan seringnya anak dirawat

e. Tipe dan frekwensi tindakan invasif yang dilakukan

f. Tingkat kecemasan orang tua

g. Stres yang dialami anak sebelum di rumah sakit

3. Kecemasan anak usia pra sekolah selama dirawat di rumah sakit menurut Hewen Lewer (1996), adalah :

a. Perpisahan dengan orang tua

b. Tidak mengenal petugas dan lingkungan rumah sakit

c. Pembatasan aktifitas dan merasa sebagai hukuman

d. Kehilangan keutuhan/cedera tubuhnya atau nyeri

4. Respon-respon kecemasan pada anak.

Menurut (Borkovee, et all, 1977), reaksi ketakutan dan kecemasan pada anak merupakan suatu yang kompleks, pengorganisasian dari tiga sistem respon yaitu subyektif, motorik dan fisiologi.

Dampak Hospitalisasi pada Ana Usia Prasekolah

Hospitalisasi adalah kebutuhan klien untuk dirawat karena adanya perubahan atau gangguan fisik, psikis, sosial dan adaptasi terhadap lingkungan (Parini, 1999). Hospitalisasi terjadi apabila dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak mengalami suatu gangguan fisik maupun mentalnya yang memungkinkan anak untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Hospitalisasi dapat merupakan satu penyebab stres bagi anak dan keluarganya. Tetapi tingkat stresor terhadap panyakit dan hospitalisasi tersebut berbeda menurut anak secara individu. Mungkin seorang anak menganggap hal itu sebagai hal yang biasa tetapi mungkin yang lainnya menganggap hal tersebut sebagai suatu stresor.

Menurut Sandra R. Mott et all (1990) dampak hospitalisasi pada anak meliputi :

a. Dampak perpisahan

perpisahan dengan orang yang dapat memberinya semangat menimbulkan suatu kecemasan pada anak. Perpisahan dengan figur pemberi kasih sayang selama prosedur yang menakutkan atau menyakitkan akan meningkatkan rasa tidak nyaman pada anak. Lebih jauhnya, anak tidak mampu untuk mengerti bahwa hal tersebut merupakan perpisahan sementara dan alasan ketidakhadiran orang tua berakibat perasaan dibiarkan.

b. Kehilangan kontrol

Hospitalisasi pada anak tanpa melihat usia anak sering menimbulkan kehilangan kontol pada fungsi tubuh tertentu. Anak sering membutuhkan bantuan dalam mengerjakan aktifitas yang dia dapat lakukan sendiri di rumah. Hal ini menyebabkan anak merasa tidak berdaya dan frustasi serta meningkatkn ketergantungan pada orang lain.

c. Gangguan body image

Dimulai pada masa pra sekolah, anak sering merasa tidak nyaman terhadap perubahan penampilan tubuh atau fungsinya yang disebabkan oleh pengobatan, perlukaan, atau ketidakmampuan. Mereka mungkin takut bertemu orang lain dan tidak memperbolehkan orang lain untuk melihatnya.

d. Sakit/pain

prosedur yang menyakitkan dan invasif merupakan stresor bagi anak pada semua usia. Selama masa pra sekolah anak belajar mengasosiasikan nyeri dengan prosedur spesifik misal pengambilan sampel darah, aspirasi sumsum tulang belakang, ganti balutan atau injeksi. Anak yang mendapat suntikan berulang tidak mengerti mengapa tubuhnya selalu disakiti. Pengalaman ini dapat menimbulkan trauma jika orang yang dipercaya anak tidak memberikan rasa nyaman atau menenangkannya.

e. Ketakutan

Terjadinya karena anak berada di lingkungan rumah sakit yang mungkin asing baginya dan karena perpisahan dengan orang-orang yang sudah dikenalnya.

f. Lingkungan Asing

Menurut Wong & Whaley (1996) lingkungan asing merupakan lingkungan yang berbeda dari lingkungan rumah atau tempat tinggalnya dan tidak dikenali sebelumnya. Dalam hal ini adalah lingkungan rumah sakit yang menakutkan atau mengerikan bagi anak, tidak ada orang yang dikenalinya dan banyak terdapat perawat dan dokter yang berbaju putih serta peralatan yang mengerikan seperti jarum suntik, infus, kateter maupun alat-alat pemeriksaan radiologis.

Melestarikan kelanjutan antara lingkungan rumah dan rumah sakit merupakan pemikiran yang sangat penting untuk mengatasi dan meringankan penyakit anak. Tujuannya adalah untuk menyembuhkan (jika mungkin) atau memperbaiki status fisik dan mental sehingga anak dapat berkembang dalam keterbatasannya.

Lingkungan yang ramah, suasana seperti rumah, terbuka pada anak di rumah sakit dan tempat diatur seperti di rumah misalnya seperti tempat makan, tempat minum, duduk dan istirahat sehingga dapat meminimalkan dampak hospitalisasi.

g. Jenis Tindakan/Prosedur

Tindakan/prosedur merupakan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang telah ditentukan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara optimal (Carpenito, 1998).

Pelaksanaan tindakan keperawatan dapat dilaksanakan secara langsung yaitu ditangani sendiri oleh perawat yang menemukan masalah kesehatan, dan dapat juga dengan cara delegasi yaitu diserahkan kepada perawat lain atau orang lain yang dapat dipercaya seperti keluarga pasien untuk melakukan tindakan kepada pasien.

Tindakan/prosedur yang menyakitkan merupakan stresor bagi anak pada semua usia. Selama masa pra sekolah anak belajar mengasosiasikan dengan prosedur yang spesifik seperti pengambilan darah, infus, penyuntikan maupun ganti balutan. Pengalaman ini dapat menimbulkan trauma jika orang yang dipercaya tudak memberikan rasa nyaman atau menenangkannya (Mott et al, 1995).

h. Immobilitas Fisik

Immobolitas fisik merupakan pembatasan gerak atau aktifitas dari yang biasanya dilakukan (Carpenito, 1998).

Seorang anak yang di masa pertumbuhan dan perkembangan, dimana dalam kesehariannya ia tampak begitu aktif, harus terganggu karena ia harus dirawat di rumah sakit. Anak harus berbaring di tempat tidur dan tidak dapat bermain dengan teman-teman serta orang-orang terdekatnya. Perilaku anak menjadi tidak kooperatif yang menyebabkan harus diberikan pembatasan fisik dengan cara mengikat.

Bagi anak-anak yang dapat berprilaku kooperatif pengikatan tidak perlu dilaksanakan. Lingkungan dibuat sedemikian rupa sehingga anak tetap merasa aman dengan kelemahan dan kondisinya, untuk meningkatkan kebebasan selama di tempat tidur misalnya dengan meletakkan tempat tidur di dekat pintu dan jendela. Untuk meminimalkan gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari dapat dibuat jadwal waktu bersama-sama antara anak dan perawat yang akan dipakai pedoman oleh anak dengan tidak mengabaikan kesehatan atau program pengobatan (Depkes, 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar